Tips Menghindari Pose Foto Yang Membosankan
Jakarta - Melipat tangan. Bisa jadi hanya kebetulan jika pose andalan tersebut -- tanpa harus disebut sebagai pose membosankan -- mudah ditemui tidak hanya di cover majalah atau kebutuhan editorial. Banyak company profile, iklan komersial maupun iklan non komersial menampilkan pose serupa atau mirip-mirip.
Awal Januari 2016 ini, majalah Forbes Indonesia menempatkan pengusaha Harry Tanoesoedibjo di sampulnya. Ia terlihat mapan dengan kedua tangan melipat di depan dada. Matanya menatap kamera (menyapa pembaca) dengan pesan optimistis dan ajakan kesuksesan.
Sementara di belakang HT -- begitu ia disapa -- terdapat lukisan dua singa sedang bertarung, seolah memberi pesan kerja keras, kekuatan dan ambisi menjadi raja dalam bisnisnya.
Di saat hampir bersamaan, majalah Indonesia Tatler turut menampilkan pose serupa namun dengan tokoh berbeda yakni Menko Pulhukam Luhut Panjaitan. Luhut digambarkan lebih rileks dengan duduk di kursi separuh berdiri yang biasa terlihat di meja kafe.
Kakinya sedikit ditekuk dengan tangan dilipat di atas perut di bawah dada yang memperlihatkan jam tangan Luhut yang tidak murah. "Passsionate Patriot," begitu judul editorialnya.
Banyak alasan kenapa sesuatu yang sama bisa terjadi berulang-ulang. Dapat karena tuntutan deadline, pilihan editor atau kemauan klien. Bisa juga karena subjek foto yang bukan model profesional sehingga saat hendak difoto langsung bergaya dengan pose yang terlintas spontan di kepalanya.
Untuk terhindar dari pose yang berulang tersebut, adalah kerja keras fotografer untuk dapat mengarahkan gaya dan membangun gesture subjek dengan representatif dan sesuai kebutuhan. Jika memiliki tim stylist atau pengarah gaya, beban itu sedikit terkurangi. Namun jika bekerja sendiri, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, pelajari calon subjek yang akan difoto. Misalnya soal pekerjaan, hobi, latar belakang hingga kebiasaan sehari-hari. Jika ia publik figur, bisa dicari di internet. Kalau bukan, bisa berbincang sebelumnya atau mencari informasi dari orang-orang sekelilingnya. Tujuannya untuk memahami karakter dan profil orang tersebut. Apakah pekerja keras, penyuka tantangan, pengambil resiko, humoris, atau apapun itu.
Gunakan informasi dasar tersebut sebagai jalan masuk untuk merumuskan visualisasi yang dibutuhkan. Lalu tuangkan dalam konsep yang mudah dipahami dan komunikatif. Tidak harus dengan teknik fotografi yang rumit namun dengan sesuatu yang bisa mewakili karakter subjek foto dengan komprehensif.
Kedua, cari referensi pose yang variatif. Bisa dari internet atau porfolio fotografer portrait yang Anda sukai. Kemudian foto atau print screen lalu tunjukan kepada subjek yang akan Anda potret sebagai bahan acuan.
Pada saat senggang, Anda dapat melakukan riset kecil-kecilan dengan mengumpulkan berbagai pose yang menarik. Bisa dari internet, buku atau lukisan dan seni murni lain yang menampilkan pose menarik, imajinatif dan inspiratif. Kemudian jepret dan simpan dalam folder khusus di smartphone. Saat pemotretan, koleksi tersebut bisa dimanfaatkan sebagai referensi untuk mengarahkan subjek foto.
Dengan contoh konkrit, subjek foto tidak kesulitan dengan apa yang fotografer inginkan, bukan?
Ketiga, buatlah situasi paling nyaman saat pemotretan. Misalkan lewat sapaan ramah yang tulus atau setidaknya bertanya seputaran hobi atau makanan kesukaan. Percayalah, sapaan terkecil sekalipun mampu mengubah subjek berbeda di depan kamera.
Terlebih, jika subjek foto bukan model profesional seperti pengusaha atau pedagang kali lima. Maka berada di depan kamera merupakan 'siksaan' paling dilematis. Apakah harus terlihat narsis ataukah menjadi jaim (jaga imej) bahkan pemalu. Menjadi terlihat alamiah ataukah dengan sedikit bumbu manipulatif supaya terkesan sukses, mapan, dan bahagia.
Jika komunikasi sudah terjalin apik, maka mengarahkan pose menjadi lebih nyaman. Dalam beberapa kasus, fotografer pun mampu mengajak subjek untuk tampil 'lebih gila' seperti bergaya teatrikal dengan properti yang nyleneh.
Keempat, gunakan beberapa alternatif pose supaya tidak monoton dan lebih dinamis. Pada jepretan pertama atau kedua, kemungkinan subjek masih canggung tidak bisa dihindari. Namun pada pose-pose berikutnya ia akan lebih luwes dan mampu menyapa kamera dengan leluasa.
Berikan dia kesempatan bergaya tidak satu atau dua kali, jika perlu lebih. Fotografer pun menjadi banyak pilihan untuk menentukan alternatif foto terbaik nantinya.
Gunakan proses itu untuk membuat pose dan menangkap gesture (bahasa tubuh) dengan apik. Juga dapatkan bahasa mata subjek dengan momen paling hidup, yang mampu mewakili perasaaan dan emosi subjek saat itu juga.
Terakhir, dari beberapa frame terbaik, kurasi dan buatlah rangking foto-foto terbaik versi Anda sendiri. Proses mengkurasi ini akan membantu anda terbiasa memilah dan memilih pose-pose apa yang paling mengesankan dan mana yang perlu diperbaiki pada pemotretan berikutnya. Buatlah kemajuan untuk foto portrait tersebut dengan menghindari pengulangan dan pose yang itu-itu saja.
Awal Januari 2016 ini, majalah Forbes Indonesia menempatkan pengusaha Harry Tanoesoedibjo di sampulnya. Ia terlihat mapan dengan kedua tangan melipat di depan dada. Matanya menatap kamera (menyapa pembaca) dengan pesan optimistis dan ajakan kesuksesan.
Sementara di belakang HT -- begitu ia disapa -- terdapat lukisan dua singa sedang bertarung, seolah memberi pesan kerja keras, kekuatan dan ambisi menjadi raja dalam bisnisnya.
Di saat hampir bersamaan, majalah Indonesia Tatler turut menampilkan pose serupa namun dengan tokoh berbeda yakni Menko Pulhukam Luhut Panjaitan. Luhut digambarkan lebih rileks dengan duduk di kursi separuh berdiri yang biasa terlihat di meja kafe.
Kakinya sedikit ditekuk dengan tangan dilipat di atas perut di bawah dada yang memperlihatkan jam tangan Luhut yang tidak murah. "Passsionate Patriot," begitu judul editorialnya.
Banyak alasan kenapa sesuatu yang sama bisa terjadi berulang-ulang. Dapat karena tuntutan deadline, pilihan editor atau kemauan klien. Bisa juga karena subjek foto yang bukan model profesional sehingga saat hendak difoto langsung bergaya dengan pose yang terlintas spontan di kepalanya.
Untuk terhindar dari pose yang berulang tersebut, adalah kerja keras fotografer untuk dapat mengarahkan gaya dan membangun gesture subjek dengan representatif dan sesuai kebutuhan. Jika memiliki tim stylist atau pengarah gaya, beban itu sedikit terkurangi. Namun jika bekerja sendiri, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, pelajari calon subjek yang akan difoto. Misalnya soal pekerjaan, hobi, latar belakang hingga kebiasaan sehari-hari. Jika ia publik figur, bisa dicari di internet. Kalau bukan, bisa berbincang sebelumnya atau mencari informasi dari orang-orang sekelilingnya. Tujuannya untuk memahami karakter dan profil orang tersebut. Apakah pekerja keras, penyuka tantangan, pengambil resiko, humoris, atau apapun itu.
Gunakan informasi dasar tersebut sebagai jalan masuk untuk merumuskan visualisasi yang dibutuhkan. Lalu tuangkan dalam konsep yang mudah dipahami dan komunikatif. Tidak harus dengan teknik fotografi yang rumit namun dengan sesuatu yang bisa mewakili karakter subjek foto dengan komprehensif.
Kedua, cari referensi pose yang variatif. Bisa dari internet atau porfolio fotografer portrait yang Anda sukai. Kemudian foto atau print screen lalu tunjukan kepada subjek yang akan Anda potret sebagai bahan acuan.
Pada saat senggang, Anda dapat melakukan riset kecil-kecilan dengan mengumpulkan berbagai pose yang menarik. Bisa dari internet, buku atau lukisan dan seni murni lain yang menampilkan pose menarik, imajinatif dan inspiratif. Kemudian jepret dan simpan dalam folder khusus di smartphone. Saat pemotretan, koleksi tersebut bisa dimanfaatkan sebagai referensi untuk mengarahkan subjek foto.
Dengan contoh konkrit, subjek foto tidak kesulitan dengan apa yang fotografer inginkan, bukan?
Ketiga, buatlah situasi paling nyaman saat pemotretan. Misalkan lewat sapaan ramah yang tulus atau setidaknya bertanya seputaran hobi atau makanan kesukaan. Percayalah, sapaan terkecil sekalipun mampu mengubah subjek berbeda di depan kamera.
Terlebih, jika subjek foto bukan model profesional seperti pengusaha atau pedagang kali lima. Maka berada di depan kamera merupakan 'siksaan' paling dilematis. Apakah harus terlihat narsis ataukah menjadi jaim (jaga imej) bahkan pemalu. Menjadi terlihat alamiah ataukah dengan sedikit bumbu manipulatif supaya terkesan sukses, mapan, dan bahagia.
Jika komunikasi sudah terjalin apik, maka mengarahkan pose menjadi lebih nyaman. Dalam beberapa kasus, fotografer pun mampu mengajak subjek untuk tampil 'lebih gila' seperti bergaya teatrikal dengan properti yang nyleneh.
Keempat, gunakan beberapa alternatif pose supaya tidak monoton dan lebih dinamis. Pada jepretan pertama atau kedua, kemungkinan subjek masih canggung tidak bisa dihindari. Namun pada pose-pose berikutnya ia akan lebih luwes dan mampu menyapa kamera dengan leluasa.
Berikan dia kesempatan bergaya tidak satu atau dua kali, jika perlu lebih. Fotografer pun menjadi banyak pilihan untuk menentukan alternatif foto terbaik nantinya.
Gunakan proses itu untuk membuat pose dan menangkap gesture (bahasa tubuh) dengan apik. Juga dapatkan bahasa mata subjek dengan momen paling hidup, yang mampu mewakili perasaaan dan emosi subjek saat itu juga.
Terakhir, dari beberapa frame terbaik, kurasi dan buatlah rangking foto-foto terbaik versi Anda sendiri. Proses mengkurasi ini akan membantu anda terbiasa memilah dan memilih pose-pose apa yang paling mengesankan dan mana yang perlu diperbaiki pada pemotretan berikutnya. Buatlah kemajuan untuk foto portrait tersebut dengan menghindari pengulangan dan pose yang itu-itu saja.
Sumber:detiknet
0 Response to "Tips Menghindari Pose Foto Yang Membosankan"
Post a Comment